Senin, 19 Agustus 2013

Pendidikan Anak Usia Dini Sebagai Pembelajaran Penanaman Karakter Dan Moral Pada Anak Sejak Dini

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
       Dewasa ini kita banyak melihat aktivitas anak bangsa yang sangat memprihatinkan. Kurang tanggapnya mereka akan lingkungan dan perubahan sosial yang melanda bangsa, sulitnya mereka mencari lahan pekerjaan untuk menopang hidup yang lebih layak dan sampai yang terparah kita sering melihat tindak korupsi yang mengakar dalam kehidupan manusia. Apalagi lebih parah lagi korupsi telah beranak pinang di Indonesia sehingga tidak dapat dibedakan itu merupakan kebiasaan tata pemerintahan atau tindak korupsi.
       Perbutan amoral merupakan hal yang biasa terjadi dalam lingkugan masyarakat. Gaya hidup yang kebanyakan telah mengadopsi dari bangsa timur, sekarang sudah menjadi tren generasi muda. Sopan santun tidak lagi terlihat dari seorang anak pada orang tua mereka. Sehingga dewasa ini sulit sekali untuk membedakan sesuatu yang baik di tengah kebiasaan yang kurang tertata.
       Salah satu penyebab hal itu terjadi adalah karena karakter yang dibawa anak sejak kecil memang begitu adanya. Apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan waktu dia masih kecil menjadi pola pikir mereka dalam mengambil keputusan di masa depan. Apabila sewaktu kecil mereka dbesarkan dalam keadaan orang tua dan lingkungan yang kurang peka terhadap perubahan sosial dan apatis terhadap lingkungan sekitar. Maka apabila mereka tumbuh dewasa kelak mereka juga akan menjadi orang yang kurang peka terhadap masalah sosial.
       Masa usia dini adalah masa dimana anak-anak masih dalam keadaan belajar. Mereka menyerap dan menirukan segala sesuatu yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Selain itu masa usia dini adalah masa dimana anak-anak lebih suka untuk bermain, bersosialisasi dengan lingkungan baru dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang dunia mereka sendiri. Sehingga kita kadang tidak memahami apa yang mereka inginkan.
       Dewasa ini banyak pendidikan yang diberikan pada anak usia dini. Dimana pendidikan itu selain bertujuan untuk mengurangi beban orang tua dalam mendidik anak mereka, pendidikan ini juga bertujuan untuk memberi pengetahuan pada anak-anak tentang dunia pendidikan yang lebih banyak dilakukan melalui permainan oleh seorang yang lebih paham akan dunia anak.
       Play group, itulah sebutan untuk bangku pendidikan anak usia dini. Dimana dalam bangku ini anak-anak usia dini diajari bagaimana cara belajar sambil bermain, cara membaca, menyusun balok menjadi bangunan, berhitung dan masih banyak permainan lainnya. Dalam pembelajaran ini intinya anak diberikan kebebasan untuk belajar sambil bermain.
       Melihat fenomena yang terdapat disekitar kita sekarang memang pendidikan usia dini memiliki peran penting untuk menentukan langkah dalam menentukan pola pikir anak dimasa depan. Akan tetapi apakah yang kita tawarkan dalam pendidikan usia dini tersebut? Apakah sekedar belajar sambil bermain? Apakah disitu kita hanya belajar berhitung sambil bermain, menyusun balok atau belajar membaca sambil melihat gambar?
       Melihat fenomena yang sangat penting dalam usia dini tersebut kami menjadikan pendidikan usia dini sebagai obyek kajian kami dengan judul “PENDIDIKAN ANAK USIA DINI SEBAGAI PEMBELAJARAN PENANAMAN KARAKTER DAN MORAL PADA ANAK SEJAK DINI” dan dimana dengan metode yang kami tawarkan akan menimbulkan karakter pada anak sejak mereka dini dan membentuk moralitas yang baik. Sehingga mereka akan peka terhadap lingkungan sekitarnya, memiliki pandangan yang jelas sehingga mampu menciptakan peluang kerja serta dapat menghindari dari tindak korupsi.


RUMUSAN MASALAH
       Berdasarkan latar belakang yang tertulis diatas kami mengangkat permasalahan yang timbul dalam penyusunan karya tulis ini yaitu :
1.      Bagaimana cara menerapkan metode pembelajaran pendidikan usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini?
2.      Mengapa metode pembelajaran pendidikan usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini mampu menanamkan karakter pada anak usia dini?


TUJUAN PENULISAN

Penulisan karya ilmiah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Menerapkan metode pembelajaran pendidikan usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini sebagai salah satu metode pembelajaran yang diberikan pada anak usia dini untuk membentuk karakter dan moral mereka sejak dini.
2.      Untuk membentuk anak dalam memberikan karakter dan moralitas sesuai dengan potensi yang dimiliki.


MANFAAT PENULISAN

1.      Memberi alternatif metode pembelajaran untuk menanamkan karakter dan moral pada anak sejak dini.
2.      Anak akan memiliki karakter serta moral yang baik sehingga dapat melangkah menyongsong masa depan dengan baik.


TELAAH PUSTAKA

Pengertian Anak Usia Dini

       Anak usia dini atau juga disebut dengan masa awal kanak-kanak adalah masa yang paling penting semasa hidupnya. Karena pada masa tersebut adalah masa pembentukan pondasi dan dasar kepribadian untuk mengetahui bagaimana karakter anak dalam menjalani kehidupannya. Menurut Rahman (2005;h.9) anak usia dini adalah anak usia 0-9 tahun. Hal tersebut karena dalam usia tersebut anak berada dalam masa lompatan dan kecepatan perkembangan yang luar biasa dibanding usia sesudahnya. Pada masa tersebut kesempatan yang sangat efektif untuk membangun seluruh aspek kepribadian anak dan merupakan usia emas yang tidak akan terulang lagi.
       Masa usia dini juga dapat di sebut masa kanak-kanak awal “Hurlock (1980; h. 108)” mengungkapkan bahwa pada masa usia kanak-kanak dibagi dua periode yakni periode awal  berkisar dari usia 2-6 Tahun  dan periode emas berakhir sampai anak tersebut matang seksual. “Biechler dan Snowman ( dalam patmonodewo, 1995; h. 19)” berpendapat bahwa masa usia dini adalah masa dimana anak berusia 3-6 Tahun dan mereka biasanya dalam usia sekolah.
       “Direktorat pendidikan anak usia dini (2004; h.9)” mengungkapkan bahwa anak usia dini adalah kelompok manusia yang berusia 0-6 tahun dan dikuatkan dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Ditambahkan pula bahwa kelompok anak usia dini merupakan kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan ( daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosional, kecerdasan sepiritual ), emosional, bahasa dan komunikasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan yang sedang dilalui oleh anak tersebut. Sehingga berdasarkan keunikan dalam tingkat pertumbuhan dan perkembanganya, anak usia dini dibagi menjadi tiga tahap yaitu masa Toddler usia 0-3 Tahun, masa prasekolah usia 3-6 tahun dan masa kelas awal sekolah usia 6-8 tahun (direktorat PAUD,2004; h.9)
       Dari batasan pengertian tersebut maka usia dini adalah kelompok manusia yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan baik itu perkembangan fisik, kognitif, emosional, bahasa dan moral yang berada dalam rentang usia 0-6 Tahun, dimana masa kanak-kanak awal dimulai sebagai penutup masa bayi, usia dimana ketergantungan secara praktis sudah lewat diganti tumbuhnya kemandirian dan berakhir di usia masuk sekolah dasar “ Hurlock ( 1980; h. 108).

Teori-Teori Belajar

       Kepribadian akan dapat diketahui dari perkembangan perilaku manusia dalam berinteraksi terhadap lingkunganya secara terus-menerus “ teori skinner (dalam budiharjo, 2001; h.110). Skinner membedakan dua tipe perilaku yaitu operan dan responden. Perilaku operan mengacu pada reaksi-reaksi individu yang menunjukan bahwa individu mengadakan hubungan dengan lingkungan, mengubah dan diubah lingkungan. Perilaku responden diperoleh dari stimulus yang dapat diidentifikasi.
       Prinsip yang digunakan oleh skinner adalah reward untuk meningkatkan kecepatan terjadinya respon dan setiap respon yang diikuti dengan penguatan akan gendering berulang.
       Sedangkan teori belajar sosial adalah pandangan psikolog yang menekankan tingkah laku, lingkungan dan kondisi sebagai faktor utama dalam perkembangan dan atau perubahan perilaku (Santrock, 1996; h.53). lebih lanjut “Bandura (dalam Santrock, 1996; h.53) percaya bahwa dengan belajar memperhatikan pengaruh orang lain tersebut akan dipresentasikan dan kemudian akan ditiru.

Karakter

       Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking", "to engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter' tercela).
       Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: "Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good".
       Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi pondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Karena kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power. Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi semakin buruk.
       Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia yang mempunyai karakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.
Moral

       Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi antar individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
       Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
       Moral adalah perbuatan atau tingkah laku seseorang dalam berinteraksi dengan manusia lain. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya, moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
       Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
       Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
       Kohlberg menggunakan cerita-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap atau tingkat sebelumnya.
Tahap-tahap tersebut tersebut sebagai berikut:

Pra-Konvensional

       Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
       Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
       Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Konvensional
       Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
       Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini. Mereka bermaksud baik.
       Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu. Sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

Pasca-Konvensional

       Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
       Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
       Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.


Kepekaan Sosial

       Menurut “Chaplin (2001; h.472)” dalam kamus psikologi, kepekaan sosial adalah sifat-sifat khusus individu yang mudah menyadari perasaan orang lain. Kepekaan sosial juga berarti peka terhadap segala masalah sosial yang ada dilingkungan sekitarnya.
       Seseorang memerlukan kepekaan sosial untuk beradaptasi dan berkomunikasi dalam melakukan interaksi dengan lingkungan mereka, terutama dengan lingkungan baru yang belum mereka kenal. Kepekaan adalah unsur yang sangat penting guna menggerakan kepribadian dan meningkatkan hidup seseorang yang memiki kepekaan tinggi atas perasaan mereka, maka dia akan dapat mengambil keputusan-keputusan yang mantap dan membentuk kepribadian yang teguh.
       “Jacinta (www.e-psikologi.com.2005)” menyatakan indikator kepekaan sosial individu yaitu:
1.      Resposif terhadap masalah
2.      Mudah beradaptasi
3.      Memiki rasa empati yang tinggi
4.      Mudah bekerjasama
5.      Memikiki keinginan menolong yang tinggi
       Kepekaan sosial bukanlah sesuatu yang muncul secara otomatis akan tetapi sering dengan pertumbuhan, namun kepekaan sosial perlu difasilitasi dan dilatih agar berkembang seiring perjalanan waktu dan kedalaman interaksi suatu individu dengan individu lainya.


METODE PENULISAN

Pendekatan Penulisan

       Pendekatan penulisan ini menggunakan pendekatan diskriptif berdasarkan kajian pustaka. Pemilihan pendekatan ini diasumsikan dapat memberi alaternatif dalam membantu anak membentuk karakter serta moralitas yang kuat sejak mereka masih dini. Dalam pendekatan diskriptif tersebut penulis merujuk pada pustaka-pustaka yang relevan dengan permasalahan yang diungkapkan.

Sasaran Penulisan

       Sasaran penulisan gagasan tulis ini adalah deskripsi mengenai pendidikan anak usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini serta konsep pelaksanaan metode pembelajaran pendidikan anak usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini dan alasan mengapa metode pembelajaran pendidikan anak usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini mampu membentuk karakter dan moral pada anak sejak dini.

Sumber Kajian
       Penulis menggunakan metode study pustaka dalam membahas masalah yang terdapat dalam gagasan tulis ini. Sumber kajian yang digunakan dalam penulisan ini adalah pustaka-pustaka yang relevan dengan topik permasalahan, hasil penelitian, pandangan-pandangan para ahli dari situs-situs internet dan wawancara dengan guru pengelola play group.


PROSEDUR PENULISAN KARYA ILMIAH

Langkah-langkah yang kami lakukan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
1.      Menentukan atau memilih tema karangan
2.      Menentukan tujuan penulisan
3.      Menyusun kerangka tulis
4.      Mengumpulkan bahan tulis
5.      Mengembangkan kerangka tulis


GAGASAN
Konsep Pelaksanaan

       Metode ini ditujukan pada anak usia dini dimana anak itu belum memasuki jenjang taman kanak-kanak atau lebih sering dikenal jenjang play group. Dalam usia ini anak belum mempunyai karakter khusus dan masih dalam tahapan meniru. Biasanya dalam jenjang ini anak masih dalam usia 3-4 tahun.
       Metode ini memberi kebebasan pada anak untuk bebas mengekspresikan apa yang mereka inginkan. Dengan menggunakan konsep ini anak bisa meniru dan menerapkan karakter sesuai dengan cita-cita mereka yang masih murni dan belum terpengaruh oleh apapun. Diharapkan anak didik dapat memilih apa yang mereka inginkan berdasarkan naluri dan keinginan yang mereka sukai bukan atas keinginan atau dorongan dari orang tua mereka.
onsep ini mengajarkan anak untuk bersikap sesuai apa yang mereka pilih sesuai dengan keinginannya, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Guru yang engarahkan bukan menunjukan anak harus berbuat apa sehingga anak itu lebih memilih sesuatu karena naluri dan kesukaan mereka sendiri. Dengan demikian diharapkan anak didik akan memiki karakter yang kuat yang dilandasi dengan moralitas yang baik sehingga anak dapat membedakan yang baik dan yang buruk tanpa adanya ancaman dari orang dewasa.
Aplikasi dalam penerapan metode tersebut adalah sebagai berikut:
1.         Subjek metode
Dalam mengunakan metode ini kami memiliki gagasan yakni ditujukan pada anak usia dini yang rentang usia sekitar 3-4 tahun atau dalam jenjang play group.
2.         Sistem pelaksanaan
Dalam pelaksanaan gagasan ini menjadi metode yang diterapkan dalam pembelajaran anak usia dini dalam Play group. Dimana selain belajar dan bemain pendekatan pembelajaran guru pada anak didik dengan menggunakan metode ini.
3.         Konsep pelaksanaan
Pelaksanaan bisa dilakukan dimana saja dan terlebih pemberian karakter dalam keadaan bermain agar secara tidak langsung karakter tersebut menjadi kepribadian anak.
4.         Tahap pelaksanaan
Tahap pertama
Tahap pertama dilakukan saat awal masuk bangku pendidikan dimana dalam tahap ini anak pertama kali disuruh memilih antara beberapa profesi kerja yang mereka sukai dan setelah itu setiap berangkat kesekolah anak tersebut menggunakan kostum profesi yang mereka sukai. Dalam pemilihan ini anak hendaknya memilih tanpa adanya himbauan dari orang tua atau yang bersangkutan.
Tahap kedua
Tahap kedua adalah tahap pengenalan profesi dimana didalam tahap ini anak dikenalkan akan profesi yang mereka pilih dan memberi tahu bagaimana karakter-karakter profesi yng mereka pilih. Seumpama anak memilih profesi polisi, guru harus menjelaskan bagaimana seorang polisi yang baik dan sifat yang dimiliki seorang polisi.
Tahap ketiga
Tahap ini adalah tahap pendalaman profesi dimana disini anak disuruh menyebutkan sikap-sikap yang harus dimiliki dalam profesi yang mereka pilih. Dan anak dalam menyebutkan harus ada bimbingan yang baik dari guru.
Tahap keempat
Tahap ini mengenalkan dan mengajak agar anak melakukan dalam saat bermain, belajar dan bersosialisasi profesi apa yang mereka pilih, dengan demikian anak akan memiliki karakter profesi yang mereka pilih.
Tahap kelima
Tahap ini adalah tahap pendalaman karakter dimana dalam tahapan ini anak mendalami karakter dengan melakukan apa yang menjadi profesinya dalam kehidupan sehari-hari
       Dengan tahapan-tahapan tersebut diharapkan anak didik akan mengetahui profesinya, tugas-tugasnya dan sifat-sifatnya. Setelah mereka mengetahuinya dan mengerti anak akan memiliki karakter yang kuat akan apa yang dia inginkan atau cita-cita mereka.


KESIMPULAN

       Melihat begitu riskanya masalah mengenai moralitas anak bangsa yang sedang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini, pendidikan moral sejak dini merupakan salah satu metode yang evektif untuk menangani masalah moralitas yang sedang melanda di Indonesia. Oleh karena itu metode game aplikation ekpresi merupakan salah satu metode yang dapat dijadikan rujukan untuk penerapan dilingkungan anak usia dini.


DAFTAR PUSTAKA

4)      http://www.forumpendidikan.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar