PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dewasa ini kita banyak melihat aktivitas
anak bangsa yang sangat memprihatinkan. Kurang tanggapnya mereka akan
lingkungan dan perubahan sosial yang melanda bangsa, sulitnya mereka mencari
lahan pekerjaan untuk menopang hidup yang lebih layak dan sampai yang terparah
kita sering melihat tindak korupsi yang mengakar dalam kehidupan manusia.
Apalagi lebih parah lagi korupsi telah beranak pinang di Indonesia sehingga
tidak dapat dibedakan itu merupakan kebiasaan tata pemerintahan atau tindak
korupsi.
Perbutan amoral merupakan hal yang biasa
terjadi dalam lingkugan masyarakat. Gaya hidup yang kebanyakan telah mengadopsi
dari bangsa timur, sekarang sudah menjadi tren generasi muda. Sopan santun tidak
lagi terlihat dari seorang anak pada orang tua mereka. Sehingga dewasa ini
sulit sekali untuk membedakan sesuatu yang baik di tengah kebiasaan yang kurang
tertata.
Salah satu penyebab hal itu terjadi
adalah karena karakter yang dibawa anak sejak kecil memang begitu adanya. Apa
yang mereka lihat, dengar dan rasakan waktu dia masih kecil menjadi pola pikir
mereka dalam mengambil keputusan di masa depan. Apabila sewaktu kecil mereka
dbesarkan dalam keadaan orang tua dan lingkungan yang kurang peka terhadap
perubahan sosial dan apatis terhadap lingkungan sekitar. Maka apabila mereka
tumbuh dewasa kelak mereka juga akan menjadi orang yang kurang peka terhadap
masalah sosial.
Masa usia dini adalah masa dimana
anak-anak masih dalam keadaan belajar. Mereka menyerap dan menirukan segala sesuatu
yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Selain itu masa usia dini adalah masa
dimana anak-anak lebih suka untuk bermain, bersosialisasi dengan lingkungan
baru dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang dunia mereka sendiri. Sehingga
kita kadang tidak memahami apa yang mereka inginkan.
Dewasa ini banyak pendidikan yang
diberikan pada anak usia dini. Dimana pendidikan itu selain bertujuan untuk
mengurangi beban orang tua dalam mendidik anak mereka, pendidikan ini juga bertujuan
untuk memberi pengetahuan pada anak-anak tentang dunia pendidikan yang lebih
banyak dilakukan melalui permainan oleh seorang yang lebih paham akan dunia
anak.
Play group, itulah sebutan untuk bangku
pendidikan anak usia dini. Dimana dalam bangku ini anak-anak usia dini diajari bagaimana
cara belajar sambil bermain, cara membaca, menyusun balok menjadi bangunan, berhitung
dan masih banyak permainan lainnya. Dalam pembelajaran ini intinya anak
diberikan kebebasan untuk belajar sambil bermain.
Melihat fenomena yang terdapat disekitar
kita sekarang memang pendidikan usia dini memiliki peran penting untuk
menentukan langkah dalam menentukan pola pikir anak dimasa depan. Akan tetapi
apakah yang kita tawarkan dalam pendidikan usia dini tersebut? Apakah sekedar
belajar sambil bermain? Apakah disitu kita hanya belajar berhitung sambil
bermain, menyusun balok atau belajar membaca sambil melihat gambar?
Melihat fenomena yang sangat penting
dalam usia dini tersebut kami menjadikan pendidikan usia dini sebagai obyek
kajian kami dengan judul “PENDIDIKAN ANAK USIA DINI SEBAGAI PEMBELAJARAN
PENANAMAN KARAKTER DAN MORAL PADA ANAK SEJAK DINI” dan dimana dengan metode
yang kami tawarkan akan menimbulkan karakter pada anak sejak mereka dini dan
membentuk moralitas yang baik. Sehingga mereka akan peka terhadap lingkungan
sekitarnya, memiliki pandangan yang jelas sehingga mampu menciptakan peluang kerja
serta dapat menghindari dari tindak korupsi.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang tertulis
diatas kami mengangkat permasalahan yang timbul dalam penyusunan karya tulis
ini yaitu :
1.
Bagaimana cara menerapkan metode pembelajaran
pendidikan usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada
anak sejak dini?
2.
Mengapa metode pembelajaran pendidikan usia dini
sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini mampu menanamkan karakter pada anak
usia dini?
TUJUAN PENULISAN
Penulisan
karya ilmiah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Menerapkan metode pembelajaran pendidikan usia dini
sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini sebagai
salah satu metode pembelajaran yang diberikan pada anak usia dini untuk membentuk
karakter dan moral mereka sejak dini.
2.
Untuk membentuk anak dalam memberikan karakter dan
moralitas sesuai dengan potensi yang dimiliki.
MANFAAT PENULISAN
1.
Memberi alternatif metode pembelajaran untuk menanamkan
karakter dan moral pada anak sejak dini.
2.
Anak akan memiliki karakter serta moral yang baik
sehingga dapat melangkah menyongsong masa depan dengan baik.
TELAAH PUSTAKA
Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini atau juga disebut dengan
masa awal kanak-kanak adalah masa yang paling penting semasa hidupnya. Karena
pada masa tersebut adalah masa pembentukan pondasi dan dasar kepribadian untuk
mengetahui bagaimana karakter anak dalam menjalani kehidupannya. Menurut Rahman
(2005;h.9) anak usia dini adalah anak usia 0-9 tahun. Hal tersebut karena dalam
usia tersebut anak berada dalam masa lompatan dan kecepatan perkembangan yang
luar biasa dibanding usia sesudahnya. Pada masa tersebut kesempatan yang sangat
efektif untuk membangun seluruh aspek kepribadian anak dan merupakan usia emas
yang tidak akan terulang lagi.
Masa usia dini juga dapat di sebut masa
kanak-kanak awal “Hurlock (1980; h. 108)” mengungkapkan bahwa pada masa usia
kanak-kanak dibagi dua periode yakni periode awal berkisar dari usia 2-6 Tahun dan periode emas berakhir sampai anak
tersebut matang seksual. “Biechler dan Snowman ( dalam patmonodewo, 1995; h.
19)” berpendapat bahwa masa usia dini adalah masa dimana anak berusia 3-6 Tahun
dan mereka biasanya dalam usia sekolah.
“Direktorat pendidikan anak usia dini
(2004; h.9)” mengungkapkan bahwa anak usia dini adalah kelompok manusia yang
berusia 0-6 tahun dan dikuatkan dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
Ditambahkan pula bahwa kelompok anak usia dini merupakan kelompok anak yang
berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik
halus dan kasar), kecerdasan ( daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosional,
kecerdasan sepiritual ), emosional, bahasa dan komunikasi yang sesuai dengan
tingkat perkembangan yang sedang dilalui oleh anak tersebut. Sehingga
berdasarkan keunikan dalam tingkat pertumbuhan dan perkembanganya, anak usia
dini dibagi menjadi tiga tahap yaitu masa Toddler usia 0-3 Tahun, masa
prasekolah usia 3-6 tahun dan masa kelas awal sekolah usia 6-8 tahun (direktorat
PAUD,2004; h.9)
Dari batasan pengertian tersebut maka
usia dini adalah kelompok manusia yang berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan baik itu perkembangan fisik, kognitif, emosional, bahasa dan moral
yang berada dalam rentang usia 0-6 Tahun, dimana masa kanak-kanak awal dimulai
sebagai penutup masa bayi, usia dimana ketergantungan secara praktis sudah
lewat diganti tumbuhnya kemandirian dan berakhir di usia masuk sekolah dasar “
Hurlock ( 1980; h. 108).
Teori-Teori Belajar
Kepribadian akan dapat diketahui dari perkembangan
perilaku manusia dalam berinteraksi terhadap lingkunganya secara terus-menerus
“ teori skinner (dalam budiharjo, 2001; h.110). Skinner membedakan dua tipe perilaku
yaitu operan dan responden. Perilaku operan mengacu pada reaksi-reaksi individu
yang menunjukan bahwa individu mengadakan hubungan dengan lingkungan, mengubah
dan diubah lingkungan. Perilaku responden diperoleh dari stimulus yang dapat
diidentifikasi.
Prinsip yang digunakan oleh skinner
adalah reward untuk meningkatkan kecepatan terjadinya respon dan setiap respon
yang diikuti dengan penguatan akan gendering berulang.
Sedangkan teori belajar sosial adalah
pandangan psikolog yang menekankan tingkah laku, lingkungan dan kondisi sebagai
faktor utama dalam perkembangan dan atau perubahan perilaku (Santrock, 1996;
h.53). lebih lanjut “Bandura (dalam Santrock, 1996; h.53) percaya bahwa dengan
belajar memperhatikan pengaruh orang lain tersebut akan dipresentasikan dan
kemudian akan ditiru.
Karakter
Akar kata karakter dapat dilacak dari kata
Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for
marking", "to engrave", dan "pointed stake". Kata ini
mulai banyak digunakan dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan
kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi
bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan
sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir
atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan
berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam
alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah
orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk
dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter' tercela).
Selanjutnya, tentang nilai atau makna
pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan
seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan:
"Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills,
are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the
year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And
if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you
and the world more harm than good".
Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana
karakter harus menjadi pondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and
learning). Karena kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri
memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era
knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power. Masalahnya, bila
orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter
(terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi semakin buruk.
Demikianlah makna penting sebuah karakter
dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia
yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan
pembelajaran termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi
nonformal seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia yang mempunyai karakter
(terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang
yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang
utuh atau memiliki integritas.
Moral
Moral
(Bahasa
Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut
ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan
tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal
mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal
yang berhubungan dengan proses sosialisasi antar individu. Tanpa moral manusia tidak bisa
melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang
mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap
amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan
di sekolah-sekolah
dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral
adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian
terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan atau tingkah laku
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia lain. Apabila yang dilakukan
seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan
dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu
dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya, moral adalah produk
dari budaya dan agama. Moral
merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait
dengan nilai-nilai baik dan buruk.
Tahapan
perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan
tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago
berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget
dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi
doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut
tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini
berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan
yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral
seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa
logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg
memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan
moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut
selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis
dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan cerita-cerita
tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang
akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan
moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon
yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut
dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif;
setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap
dilema-dilema moral dibanding tahap atau tingkat sebelumnya.
Tahap-tahap tersebut tersebut sebagai berikut:
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran
moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan
penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional
menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung.
Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan
moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu
memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan
sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin
salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai
sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku
yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap
dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap
bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti
“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua
perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat
pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari
tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara
moral.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada
seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari
suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan
moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki
masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan
persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi
seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi
aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam
penalaran di tahap ini. Mereka bermaksud baik.
Dalam tahap empat, adalah penting untuk
mematuhi hukum, keputusan,
dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa
yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme.
Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu.
Sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila
seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk
dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga
dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari
perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus
dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang
lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku
pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang
sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah
penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak
dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan
atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut -
'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan
itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya
keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu
demi terpenuhinya kebaikan terbanyak
untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar
pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan
komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi
hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting
untuk tindakan moral deontis.
Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya
secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel
Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang
diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi
cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi,
sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin
bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa
mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
Kepekaan Sosial
Menurut “Chaplin (2001; h.472)” dalam
kamus psikologi, kepekaan sosial adalah sifat-sifat khusus individu yang mudah
menyadari perasaan orang lain. Kepekaan sosial juga berarti peka terhadap
segala masalah sosial yang ada dilingkungan sekitarnya.
Seseorang memerlukan kepekaan sosial
untuk beradaptasi dan berkomunikasi dalam melakukan interaksi dengan lingkungan
mereka, terutama dengan lingkungan baru yang belum mereka kenal. Kepekaan
adalah unsur yang sangat penting guna menggerakan kepribadian dan meningkatkan
hidup seseorang yang memiki kepekaan tinggi atas perasaan mereka, maka dia akan
dapat mengambil keputusan-keputusan yang mantap dan membentuk kepribadian yang
teguh.
“Jacinta (www.e-psikologi.com.2005)”
menyatakan indikator kepekaan sosial individu yaitu:
1.
Resposif terhadap masalah
2.
Mudah beradaptasi
3.
Memiki rasa empati yang tinggi
4.
Mudah bekerjasama
5.
Memikiki keinginan menolong yang tinggi
Kepekaan sosial bukanlah sesuatu yang
muncul secara otomatis akan tetapi sering dengan pertumbuhan, namun kepekaan
sosial perlu difasilitasi dan dilatih agar berkembang seiring perjalanan waktu
dan kedalaman interaksi suatu individu dengan individu lainya.
METODE PENULISAN
Pendekatan Penulisan
Pendekatan penulisan ini menggunakan
pendekatan diskriptif berdasarkan kajian pustaka. Pemilihan pendekatan ini
diasumsikan dapat memberi alaternatif dalam membantu anak membentuk karakter
serta moralitas yang kuat sejak mereka masih dini. Dalam pendekatan diskriptif
tersebut penulis merujuk pada pustaka-pustaka yang relevan dengan permasalahan
yang diungkapkan.
Sasaran Penulisan
Sasaran penulisan gagasan tulis ini
adalah deskripsi mengenai pendidikan anak
usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak
dini serta konsep pelaksanaan metode pembelajaran pendidikan anak usia dini sebagai pembelajaran penanaman karakter dan
moral pada anak sejak dini dan alasan mengapa metode pembelajaran pendidikan anak usia dini sebagai
pembelajaran penanaman karakter dan moral pada anak sejak dini mampu
membentuk karakter dan moral pada anak sejak dini.
Sumber Kajian
Penulis menggunakan metode study pustaka
dalam membahas masalah yang terdapat dalam gagasan tulis ini. Sumber kajian yang
digunakan dalam penulisan ini adalah pustaka-pustaka yang relevan dengan topik
permasalahan, hasil penelitian, pandangan-pandangan para ahli dari situs-situs
internet dan wawancara dengan guru pengelola play group.
PROSEDUR PENULISAN KARYA ILMIAH
Langkah-langkah yang kami lakukan
dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
1.
Menentukan atau memilih tema karangan
2.
Menentukan tujuan penulisan
3.
Menyusun kerangka tulis
4.
Mengumpulkan bahan tulis
5.
Mengembangkan kerangka tulis
GAGASAN
Konsep Pelaksanaan
Metode ini ditujukan pada anak usia dini
dimana anak itu belum memasuki jenjang taman kanak-kanak atau lebih sering dikenal
jenjang play group. Dalam usia ini anak belum mempunyai karakter khusus dan
masih dalam tahapan meniru. Biasanya dalam jenjang ini anak masih dalam usia
3-4 tahun.
Metode ini memberi kebebasan pada anak
untuk bebas mengekspresikan apa yang mereka inginkan. Dengan menggunakan konsep
ini anak bisa meniru dan menerapkan karakter sesuai dengan cita-cita mereka
yang masih murni dan belum terpengaruh oleh apapun. Diharapkan anak didik dapat
memilih apa yang mereka inginkan berdasarkan naluri dan keinginan yang mereka
sukai bukan atas keinginan atau dorongan dari orang tua mereka.
onsep ini
mengajarkan anak untuk bersikap sesuai apa yang mereka pilih sesuai dengan
keinginannya, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Guru yang engarahkan bukan
menunjukan anak harus berbuat apa sehingga anak itu lebih memilih sesuatu karena
naluri dan kesukaan mereka sendiri. Dengan demikian diharapkan anak didik akan
memiki karakter yang kuat yang dilandasi dengan moralitas yang baik sehingga
anak dapat membedakan yang baik dan yang buruk tanpa adanya ancaman dari orang
dewasa.
Aplikasi dalam
penerapan metode tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Subjek metode
Dalam mengunakan
metode ini kami memiliki gagasan yakni ditujukan pada anak usia dini yang
rentang usia sekitar 3-4 tahun atau dalam jenjang play group.
2.
Sistem pelaksanaan
Dalam
pelaksanaan gagasan ini menjadi metode yang diterapkan dalam pembelajaran anak
usia dini dalam Play group. Dimana selain belajar dan bemain pendekatan
pembelajaran guru pada anak didik dengan menggunakan metode ini.
3.
Konsep pelaksanaan
Pelaksanaan
bisa dilakukan dimana saja dan terlebih pemberian karakter dalam keadaan
bermain agar secara tidak langsung karakter tersebut menjadi kepribadian anak.
4.
Tahap pelaksanaan
Tahap pertama
Tahap pertama dilakukan saat awal
masuk bangku pendidikan dimana dalam tahap ini anak pertama kali disuruh
memilih antara beberapa profesi kerja yang mereka sukai dan setelah itu setiap
berangkat kesekolah anak tersebut menggunakan kostum profesi yang mereka sukai.
Dalam pemilihan ini anak hendaknya memilih tanpa adanya himbauan dari orang tua
atau yang bersangkutan.
Tahap kedua
Tahap kedua adalah tahap
pengenalan profesi dimana didalam tahap ini anak dikenalkan akan profesi yang
mereka pilih dan memberi tahu bagaimana karakter-karakter profesi yng mereka pilih.
Seumpama anak memilih profesi polisi, guru harus menjelaskan bagaimana seorang
polisi yang baik dan sifat yang dimiliki seorang polisi.
Tahap ketiga
Tahap ini adalah tahap pendalaman
profesi dimana disini anak disuruh menyebutkan sikap-sikap yang harus dimiliki
dalam profesi yang mereka pilih. Dan anak dalam menyebutkan harus ada bimbingan
yang baik dari guru.
Tahap keempat
Tahap ini mengenalkan dan
mengajak agar anak melakukan dalam saat bermain, belajar dan bersosialisasi
profesi apa yang mereka pilih, dengan demikian anak akan memiliki karakter profesi
yang mereka pilih.
Tahap kelima
Tahap ini adalah tahap pendalaman
karakter dimana dalam tahapan ini anak mendalami karakter dengan melakukan apa
yang menjadi profesinya dalam kehidupan sehari-hari
Dengan tahapan-tahapan tersebut
diharapkan anak didik akan mengetahui profesinya, tugas-tugasnya dan
sifat-sifatnya. Setelah mereka mengetahuinya dan mengerti anak akan memiliki
karakter yang kuat akan apa yang dia inginkan atau cita-cita mereka.
KESIMPULAN
Melihat
begitu riskanya masalah mengenai moralitas anak bangsa yang sedang melanda
bangsa Indonesia akhir-akhir ini, pendidikan moral sejak dini merupakan salah
satu metode yang evektif untuk menangani masalah moralitas yang sedang melanda
di Indonesia. Oleh karena itu metode game aplikation ekpresi merupakan salah
satu metode yang dapat dijadikan rujukan untuk penerapan dilingkungan anak usia
dini.
DAFTAR PUSTAKA
4)
http://www.forumpendidikan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar