BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pekerja
anak telah lama menjadi isu publik, dan telah lama pula terbangun komitmen
global untuk mengatasi masalah tersebut. Sejak tahun 1919, ILO telah mengadopsi
lebih dari 15 konvensi yang menyangkut atau relevan dengan permasalahan pekerja
anak. Diantara konvensi-konvensi tersebut, konvensi komprehensif yang sangat
relevan dengan masalah pekerja anak adalah Konvensi No: 138/1973 mengenai
batasan usia minimum untuk bekerja (minimum admission to work) dan Konvensi No:
182/1999 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerja anak (worst forms of child
labour).
Indonesia
adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program
Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah
nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah
program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh
anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk
memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak
dan secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan
tujuan akhir menghapuskannya. Pada Bulan Desember Menteri Tenaga Kerja ketika
itu, Fahmi Idris, menandatangani sebuah nota minat, disaksikan Presiden Habibie
dan direktur ILO di Jakarta, yang mewajibkan pemerintah untuk meratifikasi
konvensi ILO tentang usia buruh minimum paling lambat Juni 1999. Undang-Undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa setiap anak
memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang
menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang
cukup berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.
Sementara
itu pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Perda No.9 Tahun 2004 telah
mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA), dengan
menentukan target-target pencapaian waktu (time limit) bahwa tahun 2007 tidak
akan lagi pekerja anak di bawah usia 15 tahun, dan anak-anak sampai batas usia
tersebut telah memperoleh wajib belajar 9 tahun. Pada akhir lima tahun kedua
(2112), anak di bawah usia 18 tahun sepenuhnya harus telah memperoleh wajib
belajar 12 tahun.
Pertanyaan yang perlu di bahas dalam hal ini adalah apakah target-target yang dicanangkan oleh Kukar dapat tercapai, dan bagaimana mencapainya? Bagaimana menjamin agar pencapaian target ZBPA memberi implikasi pada kesejahteraan dan masa depan anak, bukan sebaliknya? Jika ZBPA menjadi model untuk diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia, mampukan daerah-daerah tersebut mencapainya? Jika pun mampu, apakah perlu?
Perlu diketahui, negara-negara maju yang telah lama mengalami industrialisasi dan mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang tinggi hingga sekarang belum sepenuhnya terbebas dari masalah pekerja anak (White, 1994).
Pertanyaan yang perlu di bahas dalam hal ini adalah apakah target-target yang dicanangkan oleh Kukar dapat tercapai, dan bagaimana mencapainya? Bagaimana menjamin agar pencapaian target ZBPA memberi implikasi pada kesejahteraan dan masa depan anak, bukan sebaliknya? Jika ZBPA menjadi model untuk diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia, mampukan daerah-daerah tersebut mencapainya? Jika pun mampu, apakah perlu?
Perlu diketahui, negara-negara maju yang telah lama mengalami industrialisasi dan mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang tinggi hingga sekarang belum sepenuhnya terbebas dari masalah pekerja anak (White, 1994).
Indonesia,
yang hingga sekarang masih dililit oleh krisis ekonomi, angka kemiskinan yang
tinggi, proporsi penduduk yang bekerja di pertanian yang juga masih tinggi, dan
aspirasi pendidikan yang masih rendah di kalangan penduduk miskin, mempunyai
tantangan yang lebih berat untuk mengeluarkan anak dari dunia kerja. Jika
pemerintah bersikeras untuk membebaskan anak dari seluruh bentuk pekerjaan,
menjadi pertanyaan apakah hal itu menguntungkan bagi masa depan anak?
Gagasan
membebaskan anak dari pekerjaan didasarkan pada asumsi bahwa pekerja anak
rentan mengalami eksploitasi, marginalisasi, kekerasan, dan terancam mengalami
gangguan fisik dan mental. Namun dalam kenyataannya tidak semua pekerjaan anak
berbahaya, dan tidak semua anak mengalami akibat buruk seperti yang digambarkan
di atas. Jika begitu, apakah solusinya adalah melarang mempekerjakan anak untuk
semua kasus, atau hanya melarang mempekerjakan anak sejauh pekerjaan tersebut
berbahaya bagi anak dan membuat aturan agar pekerja anak terlindung dari risiko
buruk? Alasan lain untuk melarang anak bekerja adalah karena pekerjaan
dapat mengganggu anak dalam belajar. Banyak anak drop out dari sekolah atau
prestasi belajarnya berkurang karena bekerja. Jika begitu, apakah solusinya
harus melarang anak sekolah bekerja atau model pendidikanlah yang seharusnya
disesuaikan agar sesuai dengan situasi dan kebutuhan pekerja anak?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Pengertian dan Hak-hak Anak
“Anak merupakan generasi
muda dan tumpuan harapan bangsa” kata-kata ini cukup sangat memberikan kita
pemahaman bahwa penerus cita-cita bangsa ini teletak pada mereka yang merupakan
sumber daya manusaia (SDM) yang harus dikembangkan,dilindungi dan diberi
hak-haknya. Oleh karena itu dalam rangka menciptakan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas baik secara fisik, mental, moral dibutuhkan pembinaan dan
pembimbingan secara mendalam dan terus-menerus tanpa mengabaikan hak-hak mereka
sebagai anak.
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja disebutkan pngertian anak yaitu :”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.”
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja disebutkan pngertian anak yaitu :”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.”
Dan didalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi
: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.”
Berangkat dari dua
pengertian tentang anak diatas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan anak
adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 18 tahun. Dalam konvensi hak anak
atau yang lebih dikenal dengan KHA juga dijelaskan bahwa“Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti
setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang
yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.
Sehingga dalam
kondisi apapun dan dengan alasan apapun anak yang diawah umur 18 (delapan
belas) tahun, harus mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya.
Dalam konstitusi kita (UUD
1945) juga dijelaskan bahwa
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Maka dapat dipastikan bahwa anak mempunyai hak
konstitusional dan negara wajib menjamin serta melindungi pemenuhan hak anak
yang merupakan hak asasi manusia (HAM). Berbicara masalah diskriminasi hal ini
cukup rentan terjadi dilakalangan anak-anak, hal ini terbukti banyaknya kasus
mengenai ekploitasi anak. Dalam konvensi hak anak disebutkan ada empat prinsip
dasar yang kemudian menjadi serapan dari UU no 23/2002 yaitu: a.
Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan
terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, b.
Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child).Yaitu bahwa
dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif.
Maka
dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal
3 ayat 1).Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan
keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, c.
Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life,
survival and development). Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui
bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1).
Disebutkan juga bahwanegara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2). d. Prinsip
penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut
hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap
pengambilan keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak
Anak.
Didalam
Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
ditegaskan hal-hal yang terkait dengan hak-hak anak diatur dalam pasal
4,5,6,7,8,,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19 anatara lain berbunyi; Pasal 4 Setiap anak berhak untuk
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan. Pasal 6 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut
agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya,
dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7 ayat (1) Setiap anak
berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri. Ayat (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh
orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 Setiap anak berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 9 Ayat (1) Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Ayat (2) Selain hak
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang
cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10 Setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12 Setiap anak yang
menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial. Pasal 13 ayat (1) Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
ü
Diskriminasi;
ü
Eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual;
ü
Penelantaran;
ü
Kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan;
ü
Ketidakadilan;
dan
ü
Perlakuan
salah lainnya.
Ayat (2) Dalam hal orang
tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14 Setiap anak berhak
untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik
bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 15 Setiap anak berhak
untuk memperoleh perlindungan dari :
ü
Penyalahgunaan
dalam kegiatan politik;
ü
Pelibatan
dalam sengketa bersenjata;
ü
Pelibatan
dalam kerusuhan sosial;
ü
Pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
ü
Pelibatan
dalam peperangan.
Pasal 16 Ayat (1) Setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Ayat (2) Setiap anak berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Ayat (3) Penangkapan, penahanan, atau
tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang
berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 Ayat (1) Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
ü
Mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
ü
Memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
ü
Membela
diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
Ayat (2) Setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum
berhak dirahasiakan.
Pasal 18 Setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainnya. Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk :
ü
Menghormati
orang tua, wali, dan guru;
ü
Mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
ü
Mencintai
tanah air, bangsa, dan negara;
ü
Menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
ü
Melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.
Didalam
preambul atau mukadimah KHA di kemukakan bagaimana latar belakang dan landasan
filosofis hak-hak anak. Mukadimah KHA mengingatkan kembali pada prinsip-prinsip
dasar PBB dan ketentuan khusus beberapa traktat dan pernyataan mengenai hak
azasi manusia yang relevan. Mukaddimah KHA juga menegaskan kembali fakta bahwa
anak-anak, berhubung kondisi mereka yang rentan membutuhkan pengasuhan dan
perlindungan khusus. Dalam sustansi atau materi KHA dideskripsikan secara
detil, menyeluruh (holistik) dan maju (progresif) mengenai apa saja yang
merupakan hak-hak anak. Materi substantif hak anak dalam KHA dikelompokkan
dalam 4 (empat) kategori, yaitu:
1. Hak
terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak
dalam Kovensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan
mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk
memperoleh standard kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the
rights to higest standart of health and medical care attaniable).
2. Hak
terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak
dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,
tindak kekerasan dan penerlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi
anak-anak pengungsi.
3. Hak
untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak
dalam Konvebsi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal
dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spritual, moral dan sosial anak.
4. Hak
untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak
dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam
segalla hal mempengaruhi ana (the rights of a child to express her/his
views in all metter affecting that child ).6
Sebagaimana
dilansir diatas dapat dipahami bahwa anak juga memiliki hak sebagaimana haknya
orang dewasa, fakta ini yang kurang diperhatikan oleh masyarakat bahkan
pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam sebuah negera. Yang lebih
menyedihkan bagi masa depan anak adalah kurangnya kesadaran para orang tua akan
masa depan anak mereka. Di indonesia pelanggaran hak anak sudah menjadi
pemberitaan yang lazim, bahkan sudah menjadi pemandangan yang tidak dapat
dielakan lagi.
Banyak
kita medengar dipemberitaan bahkan melihat sendiri kasus-kasus yang mengabaikan
hak-hak mereka selaku anak, seperti kekerasan terhadap anak, ekploitasi anak dan
memperkerjakan anak diawah umur yang sudah ditentukan oleh UU,dan dewasa ini
banyak anak-anak yang yang diikutsertakan dalam kampanye politik yang mereka
tidak mengerti apapun tentang politik. Bahkan dibelahan dunia lain masih banyak
anak yang mejadi korban dari ekploitasi hak-hak anak, menjadi pekerja seks dan
menjadi korban perang.
Menurut
data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta nak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak
cacat hidup akibat perang. i beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar,
Ethiopia, Afghanistan an Guatemala, anak-anak dijadikan peserta tempur
combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat dahsyatan mesin
perang yang diproduksi negara-negara industri, ang pada akhirnya membawa
penderitaan bukan hanya dalam angka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka
panjang yang enyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara.
B. Definisi Pekerja Anak
Secara
umum pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara
rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang
membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto,
2003:3). Sementara itu, batasan usia anak ternyata cukup variatif. UU Nomor
25/1997 tentang Ketenagakerjaan ayat 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud anak
adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. BPS
dalam penyajian data statistik membatasi pekerja anak sebagai penduduk yang
berumur 10-14 tahun. Sementara itu, ILO memberi batasan pekerja anak lebih
luas, yaitu pekerja yang berumur di bawah 18 tahun.
Dengan definisi anak sebagai penduduk usia 10-14 tahun, pada tahun 2003 Indonesia memiliki 566,5 ribu pekerja anak atau 2,8 persen terhadap total anak pada usia tersebut. Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2001, yaitu sebanyak 948,7 jiwa (4,6 persen).
Dengan definisi anak sebagai penduduk usia 10-14 tahun, pada tahun 2003 Indonesia memiliki 566,5 ribu pekerja anak atau 2,8 persen terhadap total anak pada usia tersebut. Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2001, yaitu sebanyak 948,7 jiwa (4,6 persen).
Jika
dipisahkan antara daerah perdesaan dan perkotaan, terlihat bahwa proporsi
pekerjaan anak lebih tinggi di perdesaan. Namun di keduanya, terjadi penurunan
proporsi pekerja anak secara konsisten. Penurunan jumlah pekerja anak juga
terjadi di Kutai Kartanegara. Pada tahun 2000 jumlah pekerja anak adalah
sebesar 11.632 anak. Angka ini turun menjadi 3.012 anak pada tahun 2005. Namun
perlu dicatat bahwa angka pekerja anak yang terdata dalam survai BPS tidak
mencerminkan seluruh pekerja anak. Seperti yang dikatakan demograf Terence H.
Hull (dikutip Irwanto, 1996:47): menggambarkan bahwa membaca statistik angkatan
kerja di Indonesia sama seperti menonton wayang kulit.
Kita
hanya dapat melihat bayang-bayang di balik layar yang merupakan representasi
suatu realitas yang telah didistorsi. Statistik angkatan kerja kita diperoleh
berdasarkan suatu definisi yang relevan bagi negara-negara di Eropa dalam era
revolusi Industri dan upaya kelas pekerja untuk mengontrol pemerintahan,
terutama pada tahun 1930an di mana kelas pekerja (working class) sedang
berkembang dengan pesat. Indonesia yang berkembang secara ekonomi saat ini
mempunyai setting yang berbeda dengan negara-negara tersebut, terutama karena
banyaknya individu yang bekerja di sektor informal sehingga tenaga wanita dan
anak kurang diwakili dalam statistik.
Anak-anak
yang bekerja membantu orang tua di sawah, anak yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga, anak yang dilacurkan, anak yang menjadi pengedar narkoba, atau
anak jalanan, besar kemungkinan tidak tercermin dalam survai. Mereka yang
bekerja di sektor-sektor tersebut sangat boleh jadi jumlahnya lebih besar,
sehingga tren penurunan pekerja anak seperti yang dikemukakan di atas belum
tentu mencerminkan realitas.
Dalam
konteks eliminasi pekerja anak, pada umumnya, fokus perhatian dari para
pengambil kebijakan tidak pada seluruh jenis pekerjaan, tetapi lebih kepada
pekerjaan yang bersifat produktif, di luar rumah atau untuk orang lain,
dibayar, skala besar, dan sebagai pengganti sekolah. Sementara itu pekerjaan
yang bersifat reproduktif, di rumah atau untuk orang tua, tidak dibayar, skala
kecil, dan sambil sekolah, tidak dianggap sebagai masalah, sehingga keluar dari
pengertian pekerja anak.
Lebih
jauh lagi, meskipun penghapusan pekerja anak dijadikan sebagai tujuan jangka
panjang, dalam jangka dekat upaya eliminasi pekerja anak lebih dofokuskan pada
bentuk-bentuk pekerjaan yang memberi dampak buruk pada anak. Program IPEC/ILO,
misalnya, memberi penekanan pada anak yang mengalami situasi-situasi sebagai
berikut (Putranto, 1994): Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas
hak-haknya sebagai pribadi. Ini dikenal sebagai bounded labour. Dalam kasus
ini, anak tidak memperoleh upah dan dikerjakan secara paksa.
Anak-anak
yang bekerja di bawah tekanan yang sangat kuat, walau upah masih diberikan.
Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus anak yang bekerja pada
jermal-jermal liar di Sumatra Utara atau anak-anak yang dilacurkan. Anak-anak
yang bekerja pada pekerjaan berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa maupun
kesehatan fisik dan mentalnya. Berbagai kasus anak yang bekerja di berbagai
tempat pembuangan sampah atau di pertambangan telah menjadi prioritas IPEC di
Indonesia. Anak-anak yang bekerja pada usia yang masih sangat muda, di bawah 12
tahun. Jumlah mereka tidak mudah untuk diperkirakan karena tidak tercantum
dalam statistik angkatan kerja dan sering tidak dilaporkan (Irwanto, 1996:52).
C. Pekerja anak dibawah umur menurut hukum positif
Sebagaimana
yang paparkan diatas bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
umurnya dibawah 18 (delapan belas) tahun. Sehingga anak yang dibawah umur 18
(delapan belas) tahun tidak dapat dkatakan cakap hukum dan perbuatan yang
dilakukuannya belum mencapai kriteria perbuatan atau tindakan hukum. Dalam
dunia kerja tentunya harus ada tindakan hukum yang dilakukan berupa perjanjian
atau kontrak kerja.
Dalam
hukum privat pengertian perjanjian dapat kita pahami bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dari pengertian diatas dapat kita tarik benang merah bahwa dalam
sebuah perjanjian melahirkan perbuatan atau lebih tepatnya perbuatan atau
tindakan hukum dengan satu orang atau lebih karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikandan selnjutnya
mempunyai ikatan dengan satu orang atau lebih tersebut karena di
dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepadapihak yang lain.
Dalam
perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena
kehendaknya sendiri. Hal ini
bila disadingkan dengan pekerja anak dibawah umur tentunya melanggar ketentuan
yang ada kerana dalam sebuah perjajijan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebagamana tertera dalam KUH Perdata Pasal 1320 sebagai berikut:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
kata sepakat harus bener –bener dilandasi dengan kesadaran penuh seseorang
untuk melakukan perjanjian, sehingga tdak ada keterpaksaan satu sama lain yang
aka merugikan satu sama lainnya. Karena tiada sepakat yang sah apabila
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan dan penipuan (
Pasal 1321 KUH Perdata) adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan
tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUH Perdata). Terhadap perjanjian
yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat
diajukan pembatalan.
2.
Cakap untuk membuat perikatan; kata
“cakap” dapat dikatakan sudah memenuhi prsyaratan untuk berbuat tindakan hukum
dalam Pasal 1330 KUH Perdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat
perikatan :
a. Orang-orang
yang belum dewasa
b. Mereka
yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian
perjanjian tertentu.
3.
Suatu hal tertentu.dalam hal
ini Sesuatu yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau barang yang cukup
jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah
timbulnya kontrak fiktif.
4.
Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang.
Dari
pemaparan diatas sebuah konsep ideal dari sebuah aturan sudah cukup menjamin
akan hak-ahak anak dalam mengembangkan diri mereka, namun yang menjadi problema
detik ini belum sepenuhnya terealisasi dan bahkan ironisnya pekerja anak
belakangan ini memang sudah menjadi pemandangan yang lazim dilihat, dari
perusahaan yang bergerak dibidang industri hingga warung-warung dan toko-toko
kecil sekalipun.
Namun
meskipun sudah ada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetap saja
pekerja anak berkeliaran dimana-mana. Dalam UU itu dikatakan bahwa setiap anak
memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orangtua dilarang
menelantarkan anaknya. Kalau dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman termasuk
perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Di sisi lain dalam UU No 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa anak-anak boleh
dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimum tiga
jam seharinya. Namun kenyataannya penerapan semua UU itu tidak berjalan
semestinya. Tetap saja pekerja anak berlangsung dimana-mana. Bahkan ironisnya
ada sebagian mereka yang bekerja menjadi pemuas nafsu laki-laki hidung belang.
Didalam
UU Tentang Tenaga Kerja kita dijelaskan bahwa: Pengusaha dilarang
mempekerjakan anak. Dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun pengusaha
tidak oleh mempekerjakan anak dibawah umur. Namun dalam upaya untuk memberikan
pendidikan dan pelatihan pengusaha boleh mempekerjakan anak-anak dengan
ketentua yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Undang Undang Republik
Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja dari pasal 68 ,69 ,70 ,71 ,72
,73 ,74, 75 yang berbunyi:
Pasal
68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pasal 69 Ayat (1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur
antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial. Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak
pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan
:
ü Izin
tertulis dari orang tua atau wali;
ü Perjanjian
kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
ü Waktu
kerja maksimum 3 (tiga) jam;
ü Dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
ü Keselamatan
dan kesehatan kerja;
ü Adanya
hubungan kerja yang jelas; dan
ü Menerima
upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ayat
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g
dikecualikanbagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal
70 Ayat (1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang. Ayat (2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
berumur 14 (empat belas) tahun. (3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan dengan syarat :
ü Diberi
petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
ü Diberi
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal
71 Ayat (1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan
minatnya. Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajibmemenuhi syarat :
ü Dibawah
pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
ü Waktu
kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
ü Kondisi
dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan
waktu sekolah.
(3)
Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal
72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka
tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Pasal
73 Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan
melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
ü Segala
pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
ü Segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
ü Segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi
dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
ü Semua
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3)
Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal
75 Ayat(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang
bekerja di luar hubungan kerja. Ayat (2) Upaya penanggulangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam
upaya-upaya pengembangan bakat sebagaimana dijelaskan dalam UU diatas merupakan
bentuk persiapan mental anak-anak agar tidak kaget dalam menempuh dunia kerja
kedepannya. Yang perlu dipahami bahwa semua yang dapat dilakukan dalam konteks
pengembangan diri mereka. Dan sebagian para orang tua beranggapan bahwa
memberikan pekerjaan kepada anak-anak mereka merupakan proses belajar, belajar
untuk menghargai pekerjaaan dan belajar untuk bertanggung jawab, mereka jga
berharap anak-anak mereka apat membantu meringankan beban mereka selaku orang
tua.
Selama
masih dalam kondisi wajar dan sesuai dengan ketentuan UU kita hal tersebut
sah-sah saja. Namun sebagian orang tua memberi pekerjaan yang diluar
kemampuannya dan menghilangkan kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan
diri. Keadaan seperti ini terkadang memberikan dampak yang cukup signifikan
pada perkembangan psikologis anak dan mental yang dibangun. Tidak banyak
keadaan seperti ini membuat anak menjadi brutal, terbelakang mental, krisis
moral.
Disadari
ataupun tidak terdapat banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur
perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku, baik orang
tua anak dan pengusaha yang telah mempekerjakan anak dibawah umur seperti Pasal
68, Pasal 69 Ayat 1,Pasal 69 dan Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13
Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945.
D. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak
Permasalahan
yang cukup mendasar di negara kita adalah kurangnya pembangunan manusia, oleh
karena itu isu pembangunan manusia menjadi sangat urgent dan peningkatan sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas seharusnya menjadi salah satu strategi
utama pemerintah dalam mewujudkan cita-cita luhur sebuah bangsa. Jika kita telusuri
salah satu solusi yang mendasr dan fundamental adalah meningkatkan kualitas
anak sebagai tumpuan harapan bangsa karena anak merupakan tunas, bangsa dan
ditangan mereka letak maju-mundurnya bangsa ini sebagai geneasi yang memiliki
peran yang sangat strategis dalam mengemban dan mewujudkan cita-cita bangsa.
Sehingga perlindungan terhadap hak-hak anak menjadi skala prioritas dalam
mewujudkan generasi yang cerdas,sehat, memiliki akhlak mulia. Dalam UU no 23
tahun 2002 dijelaskan bahwa:
Pasal
1 Ayat (1) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ayat (12)
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Pasal 2 Penyelenggaraan
perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi
Hak-Hak Anak meliputi :
ü Non diskriminasi;
ü Kepentingan yang terbaik bagi anak;
ü Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan
ü Penghargaan terhadap pendapat anak.
Pasal 3 Perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Dari
pengertian diatas tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk
kekerasan, perlakuan salah, penelantaran, dan eksploitasi. Sehingga dengan
adanya UU ini dapat memberikan perlindungan terhadap anak. Anak yang dilahirkan
memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia sutuhnya.
Seorang anak juga memiliki hak mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa
hormat atas kemampuan yang mereka miliki, dan perlindungan, serta harga diri
dan partisipasi tanpa harus mencapai usia kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan
kewajiban anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002.
Dalam
undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah menurut agamanya,
mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan pengajaran,
mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya, memanfaatkan
waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi sesuai
minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri. Pada
titik inilah sebenarnya penekanan bahwa anak-anak harus merdeka dalam usianya,
sehingga kata-kata “masih kecil belum bahagia” tidak terlontarkan untuk mereka
dan terhindar dari diskriminasi,tindak kekerasan dan keterlantaran bagi
anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi sekalipun.
Hak
perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat
untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari
kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat
negara. Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan
kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang
mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari
penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan
seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan,
penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi
anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.
E.
Kenapa Anak
Bekerja?
a.
Kemiskinan
Salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja adalah kemiskinan. Pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga. Penelitian oleh LeVine menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga (LeVine dkk, 1988, dalam Irwanto, 1996:53). Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar. Keluarga-keluarga miskin tidak mampu mempertahankan anak di sekolah, sementara intervensi dengan program IDT bahkan meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja.
Salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja adalah kemiskinan. Pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga. Penelitian oleh LeVine menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga (LeVine dkk, 1988, dalam Irwanto, 1996:53). Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan faktor pendorong yang paling mendasar. Keluarga-keluarga miskin tidak mampu mempertahankan anak di sekolah, sementara intervensi dengan program IDT bahkan meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja.
Pada
keluarga miskin, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri,
tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Penelitian oleh Suyanto dan
Mashud (2000:33) menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki
anaknya membantu pekerjaan orang tua dengan maksud-maksud sosial edukatif—meski
pada kenyataannya hal ini tetap mengakibatkan banyak anak lebih tertarik
menekuni pekerjaan daripada sekolahnya. Sebagian kecil lainnya memaksa
anak-anaknya bekerja—baik dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang
lain—untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini kecenderungan
keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja produktif
menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak lagi mampu
mencukupi kebutuhan rumah tangga.
b.
Pendidikan
` Biaya pendidikan Dasar juga menjadi sebab dari anak untuk bekerja. Penelitian di NTT oleh Daliyo tahun 1996 menemukan bahwa lebih dari separoh anak yang disurvai telah bekerja sambil sekolah. Sementara itu penghapusan SPP belum terbukti membantu masyarakat yang miskin. Biaya untuk seragam, transport, buku, dan lain-lain masih dipandang cukup tinggi. Kenyataan ini mendorong orang tua untuk mempertimbangkan kesempatan ekonomis yang hilang bila anak tetap di bangku sekolah, dan memilih untuk meminta anak bekerja.
` Biaya pendidikan Dasar juga menjadi sebab dari anak untuk bekerja. Penelitian di NTT oleh Daliyo tahun 1996 menemukan bahwa lebih dari separoh anak yang disurvai telah bekerja sambil sekolah. Sementara itu penghapusan SPP belum terbukti membantu masyarakat yang miskin. Biaya untuk seragam, transport, buku, dan lain-lain masih dipandang cukup tinggi. Kenyataan ini mendorong orang tua untuk mempertimbangkan kesempatan ekonomis yang hilang bila anak tetap di bangku sekolah, dan memilih untuk meminta anak bekerja.
Partisipasi
sekolah mempunyai hubungan resiprokal dengan status pekerjaan anak. Anak yang
gagal dalam pendidikan (drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya
anak yang bekerja sambil sekolah cenderung menurun prestasinya, atau mudah
mengalami drop out (Suyanto dan Mashud, 2000: 22). Dengan demikian, mahalnya
biaya pendidikan menempatkan anak dalam posisi yang dilematis. Anak yang masih
berminat sekolah tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai akan memaksa anak
itu untuk bekerja. Sementara itu, kesibukan bekerja akan membuat anak tersebut
terganggu prestasi belajarnya, terpaksa mbolos dari kelas, dan pada akhirnya
terpaksa drop-out. Sementara itu kemampuan pemerintah untuk menutupi ongkos
pendidikan di luar SPP membuat anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus
bekerja. Ini berarti, arah solusi dari masalah pekerja anak, salahsatunya
terdapat pada sektor pendidikan, yaitu bagaimana membuat anak terbebas dari
biaya pendidikan, dan jika hal tersebut tidak mungkin, bagaimana membuat sistem
pendidikan lebih mengakomodasi kondisi anak yang terpaksa harus sekolah sambil
bekerja.
c.
Penetrasi
Pasar
Pasarisasi
atau penetrasi kapitalisme global ke dalam perekenomian nasional dan daerah
menjadi faktor penting yang ikut memacu tumbuhnya pekerja anak. Dalam situasi
perdagangan internasional yang sangat kompetitif, anak dipandang sebagai suatu
jalan keluar untuk menekan ongkos produksi. Pengurangan ongkos melalui sistem
borongan di rumah kerja (putting-out system) atau melibatkan anak yang digaji
rendah dan tanpa jaminan sosial dalam proses produksi merupakan cara yang lebih
mudah dalam memenangkan persaingan, ketimbang melalui peningkatan efisiensi
kerja, penggunaan mesin atau pengembangan strategi manajemen yang lebih
efisien. (Irwanto, 1996: 53).
Kecenderungan
anak merespon kecenderungan pasar dengan masuk sebagai tenaga kerja tidak
seluruhnya dianggap negatif oleh para ahli pekerja anak. White bahkan melihat
bahwa mempermasalahkan anak yang bekerja di sektor formal lebih bias kepada
perspektif pihak intervensi, yang seringkali bertentangan dengan perspektif
anak itu sendiri. White (1994:3) menunjukkan adanya kontroversi antara pihak
intervensi (pemerintah atau pengambil kebijakan) dengan anak. Pekerjaan bergaji
di sektor industri, pertambangan, atau pengolahan kayu, dan sebagainya yang
dianggap oleh pihak intervensi (pengambil kebijakan) sebagai pekerjaan yang
bermasalah atau tidak layak dikerjakan anak, dari sisi anak acapkali justru
lebih diinginkan atau sebagai pemecahan masalah. Sementara itu pekerjaan
reproduktif yang tidak memberi keuntungan materi langsung yang dianggap oleh
pihak intervensi sebagai tidak bermasalah, dari perspektif anak justru dianggap
bermasalah. Upaya untuk mengeluarkan anak dari pekerjaan di sektor formal ini
justru dianggap counter productive. Kontroversi antara dua pandangan yang
berseberangan ini akan memberi arah bagaimana masalah pekerja anak harus
diatasi.
Daftar
Kepustakaan
Embassy of the United States of America, Jakarta of Indonesia. “Laporan Amerika
Serikat tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1998”.
Hartiningsih, Maria. ”Pekerja Anak, Tragedi Induestrialisasi.” Kompas Online,
Selasa, 28 Oktober 1997.
Irwanto, “Kajian Literatur dan Penelitian Mengenai Pekerja Anak Sejak Pengembangan
Rencana Kerja IPEC 1993”. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja
Anak di Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm 43-
Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di Indonesia”, Wisma
Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm. 54.
Irwanto. Studies of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996. Jakarta:
International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO, 1997.
Mada, Wientor Rah. ”Wisata dan Eksploitasi Anak. Pikiran Rakyat. Senin,
15 Desember 2003.
Mutia, Narila. ”ILO: Kondisi Pekerja Anak di Indonesia Buruk”. Tempo
Interaktif, 8 Juli 2003.
Silalahi, Levi. ”Studi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Terhadap
Jenis-Jenis Pekerjaan Berbahaya untuk Pekerja Anak-Anak”. Tempo Interaktif,
Minggu, 13 Juni 2004.
Sumantri, Priyono. ”Penilaian Atas Program Aksi Nasional dan Pekerja Anak
Sejak Tahun 1993”. Proceeding Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak di
Indonesia”, Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 24-26 Juli 1996, hlm.31-41.
Supenti, Titin. ”Data Analisis: Perkembangan Pekerja Anak Tahun
2002-2003”, Warta Ketenagakerjaan. Jumat, 2 Juni 2006.
Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi. Pekerja Anak: Masalah,
Kebijakan dan Upaya Penanganannya. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000.
Tjandraningsih, Indrasari. Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai
Pendampingan Pekerja Anak. Bandung: Akatiga, 1995.
White, Benjamin. ”Children, Work and ’Child Labour’: Changing Responses
to the Employment of Chuldren”. Development & Change, Vol. 25, October
1994.
White, Benjamin. ”Perubahan Keterlibatan Anak dalam Pendidikan &
Kerja: Analisis Tiga Generasi”. Seminar bulanan Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003.
Pasal 1 ayat (2) UU no
13 tahun 2003
Pasal 1 ayat (1)UU Nno
23 tahun 2002
Pasal 1 ayat (1) Konvensi tentang Hak-hak Anak (KHA) Disetujui oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.
UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2
Supriyadi W. Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Makalah Disampaikan
Dalam Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 200.Hal 2
Muhammad Joni, “Hak-hak Anak
Dalam UU Perlindungan Anak Dan Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu
Hukum
Keluarga”,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/MAKALAH%20HAK%20ANAK%20DALAM%20UU.pdf
akses 02 Oktober 2010
Laporan UNICEF tahun 1995 dalam 1999, Aspek Hukum Perlindungan
Anak, dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
hal 1
Absori, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia
Pada Era Otonomi Daerahhttp://eprints.ums.ac.id/349/1/5._absori.pdf, akses
tgl 01 oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar